berita

Selasa, 26 November 2013

Mengkaji Sertifikasi Ulama

Mengkaji Sertifikasi Ulama
oleh : Wasi'un
REPUBLIKA, 12 September 2012

Rencana Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memberikan sertifikasi kepada ulama memunculkan beberapa asumsi di kalangan masyarakat mayoritas Muslim di negeri ini. Upaya tersebut, menurut informasi, mengacu keberhasilan Singapura yang sudah melaksanakan sertifikasi kepada para ulama. Tujuan BNPT memberikan sertifikasi tidak lain ingin mencegah aksi terorisme di negeri ini banyak dilakukan oleh yang bersimbol Islam.
Kalau sertifikasi diberikan hanya untuk itu, rasanya tidak adil karena seolah-olah ulama di Indonesia sebagai benteng untuk penanggulangan aksi terorisme. Tugas pemberantasan terorisme adalah tugas kita bersama, bukan hanya tugas para ulama atau tokoh agama tertentu.
Indonesia sebagai negara besar serta plural, di dalamnya terdapat umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas. Melihat realitas ini, umat Islam kemudian diposisikan sebagai kalangan `penentu' atas maju ataupun mundurnya bangsa ini. Karena fenomena inilah, moral, mental, dan sikap positif kaum Muslim Indonesia begitu spesial.
Apabila negeri ini karut-marut dan buram maka pihak mayoritaslah yang pantas disalahkan, umat Islam. Pula jika bangsa ini terwujud kemajuan atau kesuksesan di segala bidang, tentunya tidak mustahil akan menjadi citra positif bagi umat Islam sendiri, baik oleh internal penduduk bangsa Indonesia maupun negara-negara yang lain.

Tonggak Agama

Dalam pengertian asli, ulama adalah para ilmuwan, baik di bidang agama, humaniora, sosial, maupun kealaman. Dalam pengertian yang sempit, kata ulama hanya digunakan oleh ahli agama. Di Indonesia, ulama mempunyai sebutan yang berbeda di berbagai daerah, seperti kiai (Jawa), ajengan (Sunda), tengku (Aceh), syekh (Sumatra Utara/Tapanuli), buya (Minangkabau), dan tuan guru (Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah).

Ulama merupakan sosok yang sangat strategis dalam Islam. Dalam banyak hal, mereka dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad sendiri. Salah satu hadis bahkan menyatakan, “Ulama merupakan pewaris para Nabi (al-'ulama `waratsah al-anbiya').“ Wajar jika dalam Islam, posisi mereka dihormati. Pendapat mereka juga dianggap mengikat dalam berbagai masalah, bukan hanya menyangkut masalah ibadah, melainkan juga aspek kehidupan sehari-hari.

Signifikasi peran ulama dalam Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka dipandang sebagai penafsir-penafsir yang sah dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yakni Alquran dan hadis. Selain memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian akhlak, para ulama bergerak pada berbagai kegiatan sosial.

Kalau kita lihat, ketika para ulama merebut kemerdekaan, mereka sangat mendominasi kehidupan bermasyarakat. Ulama selalu menjadi ujung tombak pemerintah dalam memberikan motivasi maupun meredam gejolak sehingga masyarakat tak mudah terprovokasi.

Bukan Profesi
Pemberian sertifikasi kepada ulama akan memberikan dampak yang negatif terhadap pemerintah yang dirasa akan membatasi peran ulama dalam berdakwah. Dakwah adalah perintah agama untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik dalam hal akidah, akhlak, dan ibadah. Ulama bukan sebagai pegawai pemerintah, melainkan sebagai pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina, dan membimbing umat Islam, baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari-hari yang diperlukan, baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. 
Kehadiran ulama di tengah-tengah masyarakat bukan semata untuk mendapatkan nama, jabatan, dan bahkan material, melainkan kehadiran ulama untuk memberikan nuansa perilaku yang penuh dengan nilai keagamaan.
Alquran menyatakan bahwa ulama itu adalah pewaris para nabi, harus dipahami yang diwariskan bukan status kenabian, melainkan peranannya dalam kehidupan umat manusia. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat maka tidak ada lagi rasul dan nabi. Karena itu, yang diwariskan kepada ulama adalah tugas dan peranan menjaga agama, umatnya, dan harakat keislaman.
Di dalam kenyataan sejarah, telah terjadi transformasi peranan ulama dari zaman ke zaman. Mulai dari formasi tradisional ke formasi modernis. Pertama, ulama cukup menjadi ustaz, buya, atau mubaligh yang datang ke jamaah atau jamaah yang datang belajar atau minta fatwa. Kehidupannya, serahkan kepa da inisiatifnya yang lain, profesi sampingannya, atau profesi utamanya yang lain.
Ulama bukan profesi, melainkan fungsi pengabdian nonekonomis. Bahkan, ada anggapan bahwa ulama tidak pantas dibayar kalau datang memberikan pengajian, pengajian hanyalah sebagai tu gas sucinya. Hemat penulis bahwa pemberian sertifikasi kepada ulama akan memberikan nuansa keagamaan yang didasari dengan nilai profit semata, bukan mengedepankan kepada panggilan suci keagamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar